Minggu, 25 Desember 2011

Komite Pemberantasan Perkosaan

Ketika masyarakat geram dengan koruptor, juga dengan teroris, saya mengusulkan pemerkosa bisa juga di masukkan dalam tindak durhaka luar biasa -- extraordinary crime. Terutama karena akibat buruk berkepanjangan pada korban karena kebiadaban pada yang lemah--dan tak bersala karena meremukkan nilai-nilai kemanusiaan yang kita percayai. Karenanya, untuk mengatasi kasus-kasus perkosaan perlu "detasemen khusus", perlu "komite pemberantasan perkosaan", dalam artian bukan mendirikan institusi baru, melainkan memberi perhatian lebih.

Berita perkosaan seorang perempuan, disingkat R, berusia 35 tahun yang berangkat ke pasar pukul 04.00 wib , Rabu lalu, mengulang kembali tragedi dalam angkotan kota--angkot, dan atau angkutan umum. Secara anatomi, R tak bisa tidak menggunakan angkot karena tidak memiliki kendaraan pribadi. Satu-satunya transportasi adalah kendaraan umum. Ia berangkat dini hari ke pasar karena bisa mendapat harga lebih murah, dan dengan demikian bisa dijual kembali.

Artinya, keberadaan R di angkot dini hari adala karena tiadanya akses atau pilihan lain. Ini menjadi rawan, menjadi kekejian, ketika beberapa orang yang ada dalam angkot--mungkin mabok, mungkin memang bejat--merampas barang-barang R termasuk anting dan duit, dan memperkosanya, kemudian membuangnya. Artinya, keberadaan para pemerkosa di angkot adalah niat jahat. Kalau bukan r, mereka tetap akan menjalankan aksinya.

Jika korban melawan, akan dihabisi. Mereka tetap akan jahat berapapun usia korban--yang belum tahu jumlahnya ketika dirampas, dan menjadi lebih kasar kala, mislanya, tak ada barang yang bisa dirampas. Mereka bisa lebih marah karena merasa "tertipu". Logika yang sungguh absurd, tapi itu bisa terjadi. Saya mengenal seorang penodong yang memaksa korbannya menelan kalung yang dirampas karena ternyata kalung itu palsu, bukan emas murni. Atau memperkosa seorang nenek-nenek.

Saya tidak ingin menganalisa dunia kriminalitaskelas abal-abal ini, melainkan bagaimana pencegahan agar kebiadan itu tak terjadi. Mislanya--bukan merazia kaca gelap angkot dan atau menyalahkan penumpang yang mengenakan rok mini--dengan menjebak mereka. Seperti dalam film, seorang polwan menyamar sebagai penumpang. Dengan persiapan, upaya penangkapan akan terjadi. Bukan sesuatu yang sulit dilaksanakan.

Bukan sesuatu yang sulit dilakukan karena selama ini polisi juga melakukan razia untuk pengendara yang tidak memakai helm, atau tidak membawa SIM. Juga tak terlalu sulit menentukan daerah mana yang harus diberi umpan. Informasi dari masyarakat, dari peta rute yang rawan, sangat mudah dideteksi.

Dengan cara semacam ini, operasi pemberantasan pemerkosa bisa dilakukan tanpa harus jatuh korban lebih dulu--dan baru pelakunya diburu. Dengan cara semacam ini, beberapa titik rawan, bisa diawasi secara serentak. Dan secara terus-menerus. Kalau kita mengenal operasi lilin, atau operasi ketupat pada hari besar keamanan, kita juga mengadakan operasi yang sama--operasi R, misalnya. Karena kejahatan jalanan sekarang ini bukan hanya menghindari terjadinya tabrakan, atau kelengkapan administratif dengan memberikan seragam kepada sopir, mendata mereka untuk menghindari adanya "sopir tembak", menjadi keharusan. Dengan demikian, jaminan keamanan dijalanan--siang atau malam--meneukan aksi penormalan yang sesungguhnya. Mulai dari bagaimana proses perizinan, bagaimana pengawasan dan penugasan, terus dibenahi. Bagaimana mendudukkan tangungjawab, baik pemerintah maupun pengusaha angkutan umum, kepada tntutan dan atau kewajiban yang menyertai.

Operasi R akan menemukan momentum, bila dasar-dasar untuk menjamin adanya keamanan jalanan dapat dijalankan. Kita bosan dengan berita perkosaan diangkutan umum, geram, dan tidak ingin lebih sakit karena kita sebenarnya tahu jalan keluarnya. Kita tahu, bukan apakah kita mampu, melainkan apakah kita mau memberantasnya atau tidak.

sumber = koran jakarta, 17 desember 2011, sabtu, halaman 24

Tidak ada komentar: